Masa
kehamilan Lulu dia makin manja, kalau gak berhasil masuk rumah dia naik ke atap
rumah. Dari atas asbes dia sering ngeong-ngeong ngikutin aku kemana aja. Aku ke
kamar, kamar mandi, nonton di ruang TV, ke dapur dia selalu ngikutin. Kadang
kalau Ibu atau Bapak nggak ada di rumah, aku biarin dia masuk rumah.
I’m a loner, and ‘some’ of my cats ( Part I )
Well,
sebenarnya aku bukan cat lover yang tau segalanya tentang kucing.
Makannannya, kebersihannya, kesehatannya dan lain-lain yang cat lover wajib
tahu, aku sama sekali nggak tahu. Yang jelas aku hanya suka kucing, suka biasa
aja.
Dulu waktu masih kecil, tepatnya ketika aku masih duduk di
bangku sekolah dasar, saat itu aku berumur sekitar 6 atau 7 tahun, ada seekor
kucing yang entah betina atau jantan yang selalu datang ke rumah. Bahkan waktu
itu aku nggak tau apakah dia minta makan atau nggak. Yang pasti setiap aku atau
beberapa saudaraku berada didekatnya dia selalu ngelus-ngelus kepalanya di kaki-kaki kami.
Ketika
sudah dewasa aku baru ngerti kenapa dia dekat dengan kami, mungkin orang tua
atau saudara-saudaraku memberinya makan. Saat itu aku memberinya nama, Becky.
Warnanya seperti kucing-kucing biasa lainnya, abu-abu gelap belang hitam mungkin, entahlah. Walaupun aku memberinya nama, tetapi yang
namanya anak-anak, sekalipun aku nggak pernah memberinya makan, perhatian, bermain, merawatnya. Nggak sama
sekali. Waktu itu aku masih terlalu dini untuk mengerti bahwa hewan itu nggak
hanya cukup memberinya nama saja. Entah sampai aku kelas berapa Becky masih
berkeliaran disekitar rumah kami. Hingga suatu hari dia sama sekali nggak pernah muncul lagi. Pada saat itu perasaanku biasa
saja, bahkan aku nggak tahu jika dia menghilang begitu saja.
Hingga
ketika aku SMP, aku melihat di album lama dan melihat Becky nyempil di salah
satu foto. Berdiri didekatku dan kakak perempuanku, kami sedang berdiri makan
buah, salak atau jeruk mungkin. Ada perasaan yang aneh, tiba-tiba aku menangis
mengingat Becky yang entah bagaimana kabarnya. Sakit! Itu yang aku rasakan.
Kehilangan?? Mungkin.
Pada saat SMP aku bersekolah di pondok, asrama
tentu saja. Jauh dari rumah dan pulang hanya sesekali pada saat libur sekolah.
Hal itu yang membuat aku menjadi nggak terlalu dekat dengan anak-anak sekitar
tetangga dulu. Hampir setiap libur aku menghabiskan waktu hanya berdiam diri di
rumah. Mungkin sudah sifatku yang lebih suka sendiri. Jujur aku lebih suka
menghabiskan waktu dengan membaca komik-komik, novel dan menonton film, bukan
televisi! Hehehe well, buku dan film adalah hobiku. I’m a reader and movie
watcher, a lot!!
Sedihnya
lagi teman-teman sebaya sekitar tetangga,pada pindahan semua. Masih di kota
yang sama sih, hanya beda kampung. Lagi-lagi mungkin karena memang penyendiri
dan ‘sedikit’nggak ramah, aku nggak pernah mengunjungi mereka begitu juga
sebaliknya. Kota aku kecil, walaupun daerah pariwisata, tapi bagi aku hanya
begitu-begitu saja nggak ada yang istimewa sama sekali. Nggak ada tempat yang
bisa aku datangi. Nggak ada Mall nggak ada bioskop, taman bermain, tidak ada.
Teman
SD? Hemm, mayoritas kota ku, Berastagi, bisa dibilang rata-rata nonmuslim.
Waktu SD dikelas kalau nggak salah hanya 7-8 orang saja yang muslim. Artinya
aku kurang akrab dengan teman SD yang lain. Sedih memang... hihihi. Tapi
lagi-lagi aku sepertinya memang nggak mempunyai
teman yang bias diajak bermain, bahkan dengan kakak perempuanku yang umurnya nggak
jauh beda denganku, kami hanya terpaut sekitar setahun lebih. Ketika dia masih
7 bulan, ibuku sudah memiliki aku dikandungannya. Bukannya kami nggak dekat,
kami cukup dekat, tapi aku nggak terlalu ingat kenapa waktu itu aku selalu
sendiri.
Ketika aku SMA seekor kucing datang kerumah ketika aku
libur sekolah, yang warnanya nggak jauh beda dengan Becky dulu, masih
abu-abu gelap belang hitam. Dia sudah cukup besar. Sejak saat itu aku selalu
memberinya makan setiap dia datang. Lagi-lagi saat itu, ketika sudah SMA pun
aku masih sendiri, bahkan sedikit takut untuk keluar rumah, kenapa? Entahlah,
sejak sekolah di pondok aku semakin tertutup dengan orang luar. Ini tentu saja
bukan pengaruh karena aku bersekolah di pondok, di pondok aku termasuk orang
yang periang, mempunyai banyak teman, bergaul, belajar bersama, bercanda. Namun sayang,
teman yang aku punya berasal dari kota yang berbeda-beda. Nggak tahu kenapa
jika aku bertemu dengan beberapa tetanggaku, aku mungkin sedikit hemmm... aku nggak
pernah menegur mereka sama sekali, bahkan kepada yang lebih tua. Itu bukan
sombong atau angkuh, menurutku aku takut atau apalah, aku nggak ngerti. Yang jelas, aku dari keluarga
biasa-biasa saja, jadi nggak ada yang bisa kubanggakan hingga aku sombong
dengan semua orang. Pada saat itu yang kutahu hanya berdiam diri di rumah, itu lebih baik.
Kembali ke kucing tadi, kami semakin
dekat walaupun dia nggak tinggal dirumahku. Dia menginzinkanku untuk
menyentuhnya dan membelainya. Hanya jam makan siang atau sore harinya dia datang.
Aku memberinya nasi di campur dengan semua lauk yang ada dirumahku, sayuran,
ikan, semua kucampur. Satu hal yang kuingat, dia suka tomat. Hahaha, ini
serius. Dia suka tomat,
tapi yang dimasak dengan makanan lain. Dia betina, itu kutahu ketika
tiba-tiba suatu pagi kami menemukan 2-3 bangkai bayi kucing di dekat pembuangan
sampah kami, yang tali
pusarnya masih
tersambung ke perutnya dan masih kotor berdarah bercampur tanah. Aku nggak
jijik, karena memang aku bukan penjijik. Hanya satu yang kukatakan pada ibuku
saat itu. ‘mungkin karena ini lahiran pertama, Buk! Jadi dia nggak pinter
bersihin anaknya.’ Hemmm, Ibu malah nyerngit!!
Sayangnya Bapak nggak suka kucing. Karena selalu
menginjak mobilnya hingga kotor. Karena itu setiap Bapak ketemu dengan si
kucing Bapak selalu mengusirnya dengan sapu atau sapu lidi. Aku nggak ngelarang Bapak,
walaupun diam-diam aku menangis nggak tega. Tapi teteap saja aku diam. Sifatku yang
satu ini memang berlaku ke semua orang termasuk keluarga sendiri sepertinya.
Pernah ketika aku memberinya makan, tiba-tiba dia berlari kencang ke
luar halaman. Awalnya aku heran, ternyata Bapak keluar dari dalam rumah.
Artinya kucing itu takut sekali dengan Bapak. Mencium bau Bapak aja dia udah lari
kebirit-birit.
Sebenarnya
Bapak bukan Bapak yang kejam dan menyeramkan. Bapak
penyayang, jarang sekali marah atau memukul
kami, kecuali kalau benar-benar di luar batas. Aku pernah sekali di pukul
dengan tali pinggang sangking nakalnya karena bertengkar dengan kakakku yang
ketiga. Tapi ketika aku menangis kesakitan, Bapak ikut menangis dan minta maaf
karena sudah menghukukmku seperti itu. Bapak adalah sosok Ayah yang lembut
yang lebih mementingkan anaknya dari apapun yang ada didunia ini, hingga
terkadang melarang kami ke luar kota untuk mengunjungi teman. Itu yang terjadi
padaku, jadi
makin sendiri kan? Dan tetap aku tidak bisa menolak, walaupun banyak teman
sekolah yang ngajak main kerumahnya. Artinya aku tidak akan pernah punya teman
selama sisa liburan.
Hingga suatu hari kesabaran Bapak habis. Bukan karena
kelakuanku atau saudaraku yang lain, tapi karena si kucing yang selalu
mengotori mobil Bapak
dengan tapak kakinya semakin menjadi-jadi. Siang itu
Bapak menyuruhku memanggil si kucing agar mendekat. Kemudian Bapak
memasukkannya ke karung
goni secara paksa dan membuangnya. Aku langsung lari
ke kamar dan menangis sebisanya. Saat itu aku nggak memikirkan apa-apa, hanya
menangis sedih. Sekarang aku baru menyesal, aku nggak memberinya nama. Ketika
menulis ini aku ingat suaranya yang berteriak, mungkin minta tolong ketakutan,
dan aku nangis. Iya,
sekarang aku nangis ;-(
Sejak saat itu aku nggak ingin lagi beramah tamah
dengan kucing yang ada dirumah, takut jika si Bapak akan membuangnya lagi. Dan
sejak itu pula perlahan-lahan aku jadi sedikit takut dengan binatang. Jika ada
ayam yang melintas, aku langsung menjauh, takut dipatok atau dicakar. Sayangnya
itu berlaku juga dengan kucing. Aku takut jika terlalu dekat dengan kucing,
lagi-lagi takut dicakar atau diterkam. Aku lupa, aku pernah sangat menyayangi kucing dan
membelainya.
Pada saat di kost-an ketika kuliah aku bahkan sering
menyiram kucing yang sering menjatuhkan jemuranku, dan mainin bajuku sampi
kotor lagi. Tria, temen kostanku
sering marah kalau
kucing-kucing dikostan mulai kusiram. Dia suka kucing, tapi bukan cat lover
sepertinya. Karena dia memelihara kucing di rumahnya hanya sekedarnya saja.
Tapi yang jelas dia memang suka kucing. Hehehe maaf Tri!
Jika main ke kostan temen yang ada kucingnya aku pasti langsung menjauh.
Pernah ketika main ke kostan teman yang kucingnya ramah ke siapa, deketin aku, aku masih
selalu takut. Suatu
hari aku dan teman-temanku yang pada saat itu sedang makan nasi
bungkus rame-rame memukul si kucing ramah karena mendekatiku. Zikri marah
besar! Kalau selama ini aku selalu menyebut Tria maknya kucing, Zikri lebih
bapak-bapak-bapaknya kucing.
Lalu aku sadar, aku
memang sedikit kasar. Mengenang masa lalu, dulu aku suka kucingkan? Aku pernah
nangis senangis-nangisnya karena kucing yang di buang Bapak, atau karena
ngeliat foto Becky yang nyelip di
album lama. Jujur saat itu aku merasa bersalah sama kucing di kost yang sering
kusiram air kalau nggak ada Tria. Akhirnya sejak saat itu, aku nggak pernah lagi nyiram kucing
yang gangguin jemuranku. Marah sih masih, paling aku ngedumel aja.
Beberapa bulan kemudian aku berkunjung ke rumah teman
di Aceh, yang
sekeluarga ciiiinnnttttaaaa kuucing. Di foto keluarganya bahkan si putih, nama
kucingnya, nyempil. Bulunya memang putih semua, cantik! Ini yang
mungkin aku bilang bener-bener cat lover. Apalagi ibunya Putri, tuan rumah,
sayang banget sama si putih. Dimandiin, makanannya khusus kucing, dirawat,
diperiksain ke Vet. Banyak pertanyaan waktu itu, pupnya gimana, tidurnya gimana??? Ternyata
pas dikamar mandi Mak nya Putri
nyuruh biar aku cepet di kamar mandi, aku bergegas dan keluar. Ternyata si
putih lagi nunggu di depan kamar mandi. Takjub!!
Esok
paginya abis shalat subuh si Tria dan Sasi temen kost satu lagi, udah gendongin
si putih yang anteng aja. Ngapain?? Photoshot. Aku? Aku
lebih milih diam ngeliat mereka foto-foto karena masih belum berani nyentuh
kucing.
Foto sengaja dikerjain biar orangnya gak marah. Kan pagi baru
bangun tidur, baru subuh, belum mandi.
Aslinya mereka cantik-cantik kok! Nih
Oiy mata si putih unik, warnanya biru dan kuning, padahal
umumnya kucing kampung kuning kan??
Takjub babak 2!!
Pulang liburan disana, aku jadi sedikit lebih memikirkan
kucing. Kalau ketemu Zikri bahasnya kucing, hampir selalu kucing. Kalau ketemu
kucing dijalan pasti merhatiin. Lambat laun aku jadi gak takut dekat dengan
kucing, tapi belum berani nyentuh masih takut diapa-apain :-(
Hingga
suatu hari liat acara di TV lokal, Tr**ns 7 On *****spot, lagi nayangin video
kucing yang lucu-lucu. Kalian pasti tau, kitten lucu warna coklat yang
digelitik perutnya terus dikagetin dia kaget, digelitikin di kagetin lagi.
Pokoknya waktu itu si kitten cute nya setengah hidup!! Sumpah,
luuuuuccccuuuuuuuuu sekaaallliiiii. Acaranya abis, aku tiba-tiba pengen punya
kucing lagi.
Mau
beli kucing?? Hemmmm keluargaku gak semampu itu J. Pulang kerumah, aku selalu samperin
kucing yang numpang lewat. Awalnya ya pada lari kan? Ya jelaslah! Liar kan?
Tapi aku tetep usaha, tiap ada kucing yang lewat aku deketin nyogok pakai
makanan. Nasi campur tentu saja. Tidak lama-lama ada seekor anak kucing putih
sedikit coklat dan hitam menghampiri. Kutaksir sekitar 4-5 bulanan lah (liat di
Google).
Awalnya
dia takut, tapi aku sedikit menjauh. Jadi dia bisa makan dengan tenang. Sekitar
3-4 hari begitu terus, lambat laun dia tidak terlalu takut lagi denganku malah
mendekati kakiku dan mulai ngelus-ngelus kepalanya di kaki. Aku langsung kaget,
penyakit lama takut diapa-apain kucing masih berlaku. Waktu si kucing
ngelus-ngelus pergelangan kakiku, jari-jari kaki langsung mengkerut takut di
gigit. Ambil HP langsung tanya ke Zikri, kucing itu bakal gigit atau nggak. Pak
Zikri bilang, gak ada alasan yang gimana-gimana sampai kucing itu bisa gigit
orang, paling yang begitu kalau diajarin dari kecil. Takutku berkurang, kucing
itu masih ngelus-ngelus kepalanya aku diam aja, walaupun masih sedikit takut.
Masih
ingat Bapak yang nggak suka kucing kan? Alhamdulillah waktu Bapak ngaji, Bapak
denger kisah tentang seseorang yang imannya shalatnya sempurna tapi masuk
neraka karena memukul kucing yang memakan makanannya. Nah, Bapak mulai sadar.
Tau darimana? Jadi ceritanya waktu kita sekeluarga lagi makan sup ceker ayam,
Bapak ngumpulin sisa tulang-tulangnya. Lha heran dong, nah terus aku tanya itu
tulang mau diapain. Kata Bapak jangan dibuang, ini untuk kucing yang sering
main di belakang rumah, terus Bapak ceritain tu kisahnya. Seneng dong aku,
seenggaknya aku yakin kucing putih itu gak akan dipukul sama Bapak.
Beberapa
minggu kemudian aku memberinya nama Lulu, tau darimana betina? Nggak tau,
keliatan dari wajahnya dia cantik. Thats it! Makin hari ketakutanku dengan Lulu
mulai berkurang, aku udah berani dekat, ambil foto sana sini, mancing dia masuk
rumah, main ke kamar. Sayangnya Bapak sama Ibu belum ngijinin buat tinggal di
dalam rumah. Makannya pun selalu, di luar rumah. Tapi aku rapopo.
Karena
waktu itu masih kuliah di Medan, jadi aku gak bisa lama-lama di kampung.
Apalagi sedang nyusun tugas akhir. Jadi sekali-kali aja pulangnya, cuman aku
tetap berusaha sesering mungkin pulang biar bisa ngeliat Lulu. Lambat laun
orang rumah mulai mengakui keberadaan Lulu, kalau Lulu ada, namanya sering di
panggil-panggil. Lulunya sampai tau itu namanya, jadi kalau misalnya pas mau
dikasih makan dia nggak ada, aku panggil namanya dia langsung datang. Makin
lama aku makin sayang sama Lulu, kalau misalnya lagi di rumah pas malam mau
tidur di kamar terus tiba-tiba hujan sering kepikiran Lulu.
Diam-diam
aku sering keluar rumah ngecek Lulu. Biasanya dia sering tidur di kotak-kotak
di garasi, kadang ada kadang nggak ada. Kalau ada aku sering sedih liat dia
diluar, bukan apa-apa sodara. Berastagi itu dataran tinggi, suhunya dingin.
Sedihnya, aku cuman bisa ngeliatin dia dari dalam jendela, senengnya Lulu tau
aku ada didekatnya. Dia langsung dongak ke jendela, mata kami bertemu. Miris!
Pupil matanya melebar, dia ngeong lirih. Haahhh that eyes. Aku orang yang
paling nggak tegaan sedunia, mendekati cengeng iya. Paaaling gampang nangis,
sangking gampangnya nangis, ketawapun aku ngeluarin air mata. Ngeliatin Lulu di
luar kedinginan, besoknya kotak yang sering ditiduri Lulu aku tambahin sama
handuk bekas yang udah robek.
Sampai
disini aku juga belum bisa nyebut diriku cat lover, kenapa? Karena aku masih
sebatas ngasih makan Lulu. Dari segi kebersihan, kesehatan, bermain, dll yang
kucing butuhkan masih nihil.
Kontak
fisik aku ke Lulunya juga masih kurang, aku belum berani ngelus dia, kalaupun
nyentuh dia masih ragu-ragu alias sedikit takut, nyatanya kalau tangan aku
mulai nyentuh kepalanya dia masih kaget, akunya lebih kaget. Kalau dia mendekat
terus ngelus kepalanya ke kakiku, aku langsung menghindar. Tapi aku gak mau
gitu terus kan? Besoknya kalau didekat Lulu, aku pakai kaos kaki, celana
panjang, baju lengan panjang. Jadi sekiranya Lulunya mendekat terus ngelus
kepalanya, aku ngerasa aman nggak dicakar atau digigit.
Pernah
sekali aku nggak tau kalau dia ada dibelakangku, waktu itu pakai celana pendek.
Dia nyakar kaki terus gigit kakiku. Aku memang gak terluka, karena gigitannya
gak terlalu kencang, cakarannya yang lumayan berbekas cakaran merah walaupun
gak berdarah. Aku jadi makin takut. Kalau Lulu mendekat, aku pasti langsung
masuk rumah menjauh, walaupun dari dalam rumah aku tetap liatin di dari
jendela. Momen itu yang paling aku gak bisa lupakan dan yang aku sesali. Lulu
selalu tau aku ada di jendela, dia selalu ngeong lirih sambil liat ke arah
jendela. Dengernya sedih. Haahhh..
Tugas
akhir aku ada masalah, artinya aku bakal jarang pulang ke rumah. Tapi aku tetap
pesan ke orang rumah tetap kasih makan Lulu kalau dia datang ke rumah. Kalau
lagi telfonan sama Ibu, Ibu selalu bilang, kalau Lulu sering nerobos masuk
rumah. Ibu pikir dia nakal mau ngambil makanan, taunya malah langsung masuk ke
kamarku ngeong-ngeong. Padahal dia udah dikasih makan. Hemm waktu itu kangen
Lulu.
Setelah
masalah tugas akhir udah mulai mendingan and tinggal nunggu revisi dari dosen
yang hobi ke luar kota, akunya pulang kampung kan. Ditinggal beberapa bulan
Lulu udah gede. Dia
udah pinter pacaran, tapi dia setia kok pacarnya itu-itu aja, kucing jantan
warna orange muda, sedikit kuning. Ganteng memang, badannya kekar. Gantenglah!
Aku kasih nama Garong, kenapa? Karena kalau Lulu aku kasih makan dia selalu
nyempil di sebelah Lulu. Nanti kalau aku ada di dekat Lulu, dia selalu desis!
Akunya langsung cemen!!
Sering juga mereka kawin di depan rumah,
kadang aku suka kesel Lulu dikawinin. Hehehe, biasanya pas lagi lawin gitu, aku
panggil si Lulu. Lulunya nurut, langsung lari ke arahku, gak jadi kawin!!
*smirk.
Sayangnya
sampi dia sebesar itu pun aku belum berani nyentuh Lulu, kalau berdiri di
dekatnya aman lah. Kadang Lulunya juga gak mau ngelus kepalanya ke aku, dia
cuman duduk di sebelahku kadang tidur.
Lagi-lagi
karena masih nyusun tugas akhir aku ke Medan lagi. Diluar pengawasan, pas
pulang beberapa bulan kemudian Lulu udah berbadan dua.
Aku
seneng, Lulu bakal lahiran. Sayangnya Ibu gak seseneng aku, kotak yang isinya
kain yang selalu aku sedian untuk tidurnya Lulu nggak ada lagi. Sama Ibu
sengaja di buang, kata Ibu nanti kalau lahiran bau, kotor, kutuan, darahnya
berceceran. Aku langsung lemes. Tiap aku nyedian, lagi kain ama kotak, pasti
langsung di buang Ibu. Akhirnya aku nyerah, diam-diam aku ngikutin Lulu kalau
lagi tidur dimana, rupanya dia tidur di belakang rumah di bekas kandang ayam.
Gpp lah, yang penting dia gak kehujanan.
Semenjak
hamil, nafsu makannya membabi buta. Dia
sampai sering masuk dari jendela yang lumayan tinggi, kalau aku telat ngasih
makannya. Disitu mungkin aku sedikit, bego! Aku malah mikir Lulu bakal keguguran
kalau manjat-manjat gitu. Manjat-manjat memang sifat alami kucing kan?
Beberapa
hari sebelum Lulu lahiran, Ibu sering kesal. Lulu sering masuk ke rumah tiap
ada kesempatan. Dia masuk ke semua kamar yang pintu lemarinya terbuka. Terus masuk ke dalam
lemari. Kata
Ibu dia nyari tempat mau lahiran, jadinya tiap ada Lulu pintu dan segala
sesuatu yang mungkin Lulu terobos di tutup serapat-rapatnya. Lulu gak pernah
berhasil masuk lagi ke dalam rumah.
Hingga suatu malam, tengah malam, Lulu mondar
mandir di atas kamarku sambil ngeong yang agak lumayan bising. Semua orang di
rumah udah tidur, karena takut Bapak marah, aku berdiri di atas tempat tidur.
Kukumpulin semua benda yang bisa buat pijakan, selimut, bantal-bantal, guling,
baju. Setelah kira-kira tanganku bisa meraih atap rumah, aku panggil Lulu
lembut sambil kuusap-usap asbes dengan kedua tanganku. Berhasil! Suara
ngeongnya nya Lulu makin mengecil. Tak lama diam. Tapi tiap kupanggil namanya
dia nyaut. Setelah dia lebih tenang dan kalau di panggil gak nyaut
lagi aku turun dan merebahkan badanku lagi sambil natap ke atas atap, Lulu
masih disana. Nggak tau kenapa aku nangis.
Besoknya
Lulu nggak dateng-dateng ke rumah. Aku nyari di kandang ayam dia juga nggak
ada. Dua hari kemudian tiba-tiba Lulu masuk nerobos masuk ke rumah sambil gigit
bayi kucing. Warnanya hitam putih mungkin, aku kurang jelas. Karena Ibu
langsung ngusir Lulu keluar. Aku kejar Lulu, Lulunya udah ngilang. Ngeliat
anaknya aku nyesek lagi pengen nangis, tapi karna ada Ibu aku tahan.
Besoknya
Lulu gak muncul lagi, dua hari kemudian Lulu nerobos lagi masuk rumah gigit
bayinya yang warna bulunya persis bapaknya, orange. Aku udah sengaja biarin dia
masuk, biar dia ke kamar. Sayang ketahuan Ibu.
Lulu
ketakutan langsung ke luar, aku ngikutin dia. Ternyata dia masuk ke kandang
ayam, sembunyi di bawah kayu-kayu dan karung goni. Aku denger anaknya mencicit.
Air mataku udah gak kebendung lagi, aku nangis disitu. Aku langsung masuk ke
rumah, maling satu ekor ikan aku kasih ke Lulu. Dia makan sampai habis. Aku
duduk disitu, biarin kotor.
Pengen ngelus Lulu, tapi belum berani. Aku
kesal dengan diri aku sendiri, tangis aku semakin menjadi. Tak lama, aku
beraniin ngulurin tangan buat ngelus Lulu. Nyatanya aku masih lemah, belum
berani. Ngeliat tanganku yang keulur tapi aku tarik lagi, Lulu keluar malah
ngelus-ngelus kepalanya di kakiku. Aku ngeliat bayi kucing yang mencicit tadi.
Bayi kucingnya tinggal satu, yang warna orange. Warna hitam putih yang aku liat
kemarin udah nggak ada. Aku makin nangis, pasti mati. Diluar cuaca lagi
dingin-dinginnya, angin bertiup kencang-sekencangnya. Berastagi frozen.
Entah
berapa hari kemudian, Lulu nggak pernah lagi gigit anaknya kemana-mana. Dia
udah kayak dulu sering muncul di rumah, nggak ada tanda-tanda dari anaknya. Aku
ke belakang rumah, meriksa tiap sudut kandang ayam anaknya nggak ada. Aku
sedih, anaknya pasti gak bertahan hidup di cuaca sedingin ini tinggal diatas
tanah yang dingin. Lagi-lagi aku nangis.
Beberapa
bulan kejadian itu sudah agak terlupakan. Tugas akhirku selesai, aku wisuda.
Aku jadi lebih sering di rumah nunggu ijazah keluar. Dan datanglah Ramadhan.
Kebiasan dengan teman-teman pasti buka puasa bareng kan? Pertengahan Ramadhan
aku ke Medan jumpain temen-temen. Besok malamnya aku yang nginep di rumah abg
yang paling tua, kakak nomor tiga, kak Ance telfon.
Lulu
mati tadi pagi di belakang rumah dekat kandang ayam. Pikiranku tiba-tiba
kosong. Nggak ada suara geledek, nggak ada suara petir, gak ada hujan. Aku
blank total. Mungkin kak mikir, ni anak kucingnya mati kok
biasa aja dengernya, biasanya pasti udah nangis darah. Waktu itu aku gak ada
perasaan lemas atau apa, cuman aku jadi mendadak diam aja. Kakak ipar aku tanya
aku kenapa, mungkin waktu itu tampang aku biasa-biasa aja waktu bilang, Lulu
mati. Malah kakak ipar aku yang kaget. Lho kenapa??? Tanyanya dengan suara
keras. Aku menggeleng, sangking blank nya aku gak sempet tanya kak Ance, Lulu mati kenapa.
Besoknya
aku langsung pulang. Diperjalanan aku ngutuk diri sendiri kenapa nggak tanyak
Lulu mati kenapa. Di bus aku dengerin musik dari mp3 HP sambil pejamin mata.
Bukan tidur, tapi bertanya-tanya Lulu kenapa. Hampir 3 jam di dalam bus, sampai juga
di rumah. Begitu
buka gerbang, di halaman pojok aku ngeliat gundukan tanah, itu pasti kuburan
Lulu.
Ibu
ngeliat aku dari dalam rumah, seperti biasa aku disambut Ibu. Disitu aku baru
tanya, kenapa Lulu mati. Ibu bilang, malamnya dia baik-baik aja, masih ngeong
minta makan seperti biasanya. Tau-tau paginya waktu Ibu ke belakang rumah, Lulu
udah tergeletak nggak bernafas di depan kandang ayam. Bapak langsung ngangkat
Lulu dan dikubur di pojok halaman rumah. Jadi aku bener, gundukan tanah yang aku liat tadi memang
kuburan Lulu.
Sampai
detik itu pun aku belum ngerasa apa-apa. Aku masuk kamar, terus mandi, terus
makan. Pas makan, Ibu bahas Lulu lagi. Kata Ibu mungkin si Lulu mati keracunan.
Di
Berastagi mata pencarian penduduk sini adalah bertani. Sayang orang tuaku tidak
punya lahan, pekerjaan Bapak pensiunan PNS. Disekitar rumahku banyak ladang-ladang
penduduk sekitar. Biasanya habis panen untuk beberapa hari ditinggal begitu
saja, istirahat mungkin.
Selama beberapa hari itu rumput mulai
bertumbuhan. Biasanya petani menggunakan obat kimia ‘rondap’ untuk mematikan
rumput-rumput yang ada di ladang. Jadi Ibu mikirnya Lulu makan rumput yang udah
di rondap, malamnya kan dia baik-baik aja. Denger hepotesa Ibu, aku diam aja
makan. Bapak malah bercanda, udah ziarah sana ke kuburan Lulu. Sayangnya
candaan Bapak gak ngaruh sama sekali ke aku. Aku masih tetep diem. I
felt nothing.
Sorenya pas lagi di kamar aku mainin HP, pas lagi
mainin HP aku teringat Lulu. Mataku panas, perlahan air mata mulai mengalir,
sepertinya air mata yang harusnya keluar dari hari-hari yang lalu, tumpah ruah
saat itu.
Aku nangis sejadi-jadinya, sampai sedikit senggugukan.
Pokoknya campur aduk, gak nyangka, jelas. Karena aku ninggalin Lulu hanya beberapa hari,
malam hari sebelum dia mati pun kata Ibu masih baik-baik aja. Sampai malam aku
berdiam di kamar, air matanya gak berhenti. Pembalasan beberapa hari terakhir.
Selang beberapa hari Lulu mati, aku mulai browsing
sana-sini. Penyebab dia mati. Banyak penyebab yang kubaca, dari mulai penyakit
kucing yang serius sampai penyebab yang biasa-biasa aja. Dari satupun yang
kubaca nggak ada tanda Lulu yang mati tiba-tiba.
Tapi ada satu pelajaran penting yang cukup fatal aku
lakuin buat Lulu. Makanannya Nasi campur ikan, ikan asin bahkan. Ternyata itu
agak berbahaya buat kucing karena pencernaan kucing didesain bukan untuk nasi,
kucing karnivora kan? Sedang ikan asin pasti mengandung garam. Banyak makan
nasi dan garam membuat bulunya rontok dan beberapa penyakit pencernaan. Sering
aku ngeliat Lulu kalau garuk-garuk bulunya berhamburan kemana-mana.
Apakah kebanyakan makan nasi dan ikan asin penyebab
kematian Lulu? Aku nggak tau. Apa karena racun ‘rondap’? Aku nggak tau. Apa ada
efek dari lahiran dia karena masih pertama dan umurnya masih muda sekitar 7-8
bulanan? Sampai detik ini aku nggak tau.
Sekarang di kalender HP dan kalender di meja aku
nambah satu peringatan.
Jangan Lupa:

I’m a loner, and ‘some’ of my cats ( Part I )
Artikel ini diposting dari blog Dewi Carelsz , Tuesday, November 25, 2014 , at 11:08 PM dalam topik Cats , Cats Story dan permalink http://dewicarelsz.blogspot.com/2014/11/im-loner-and-some-of-my-cats-part-i.html . 5 1 1 . Jangan lupa baca artikel terkait dan tinggalkan komentar anda.Baca juga artikel yang lain:
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
10 Tulisan Terakhir
Komentar
Statistik
Test
Tulis Komentar Kamu dibawah, pilih Name/URL atau pilih Anonymous.
1 Komentar untuk " I’m a loner, and ‘some’ of my cats ( Part I ) "kisah yang mengharukan.
May 22, 2016 at 8:17 PMaku juga suka memberi makan kucing
bahkan kadang aku bisa berhenti ditepi jalan kalau ngelihat ada kucing yang kelihatannya memprihatinkan.
memang sih kalau untuk makanan kucing mesti yang sesuai dengan kebutuhannya
kalu aku sih biasa memberi makan ke kucing, makanan kucing dari toko yang menjual makanan kucing
Post a Comment
"Terima kasih sudah membaca blog saya, silakan tinggalkan komentar. Stay Positive"